Rabu, 27 Oktober 2010

AA Jin SM: Hidup adalah Perayaan

Sang Mistikus Yang Misterius

Suara lembut gemercik air teh yg dituangkan dari pocinya ke dalam cangkir keramik mencairkan kebekuan dan perasaan salah tingkahku. Setelah cangkir untukku terisi, dengan perlahan sang tuan rumah menuangkan air teh dari poci yang sama untuk dirinya. Kemudian tangan-tangan tua sang tuan rumah yang masih nampak cekatan memberi tanda mempersilahkanku untuk mengangkat cangkir teh yang tersaji di depan mataku dan bersulang.

“ Saudara tamuku yang mulia , mari kita bersulang untuk berkah langit dan bumi yang telah menyuratkan kita bertemu kini dan di sini, dan untuk perjalanan pulang nanti. Semoga apa yang engkau cari dapat kau temukan di sini dan di kemudian hari. Kanpei”



“Kanpei, Shifu.” Jawabku sambil mengangkat cangkir the itu lebih tinggi dan menyentuhkannya ke cangkir sang tuan rumah.



Segera sebelum cangkir itu aku letakkan di meja, aku langsung teringat sesuatu dan memohon, “ ….. dan semoga keputusan Shifu untuk menyepi dapat ditangguhkan dulu sebelum Shifu mendidik lebih banyak orang lagi jadi tercerahkan seperti Shifu.”



“Hmmmm … maaf, kalau untuk hal itu aku sudah berbulat hati memutuskannya.” Jawabnya lirih.



Ia tertunduk, tampak ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya. Dan sekarang tanpa ia sadari tangan kanannya ia pakai untuk mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang dan putih mulus bagai sutra.



Sang tamu itu adalah aku, Sang Musafir, dan tuan rumah yang bijaksana ini yang aku sapa ‘Shifu’ adalah Lao Tze. Kami berada di kota Han Ko Kwan pertengahan abad kelima sebelum masehi. Di tempat inilah Lao Tze ditahan sebentar oleh para pembesar kota itu dalam perjalananannya untuk menghabiskan masa hidupnya menyepi ke Barat. Mereka meminta agar beliau berkenan menuliskan inti pengajaran dan nasehat2 hidup darinya dalam bentuk kitab yang disebut Kitab Perubahan atau Tao Te Ching, atau yang sering disebut kitab 5000 kata. Dan sungguh beruntung sekali aku sempat bertemu dengannya di saat-saat ia sedang menyusun kitab 5000 kata itu.



Dari cerita-cerita silat Asmaraman Ko Ping Ho aku tahu kalau seorang murid menyapa gurunya dengan sapaan Suhu atau Shi Fu. Karena aku tidak berani menyapa Lao Tze, dan kata ‘suhu’ terdengar aneh ditelingaku, maka kau menyapanya ‘Shi Fu’. Seorang teman Tiong Hoa pernah mengingatkanku agar berhati-hati dengan kata ‘shifu’ karena jika kata ini diucapkan dengan nada salah maka ia berarti ‘bapak yang mati’. Hmmmm susah sekali sih ini bahasa.

Dan tak seperti yang kupikir sebelumnya, ternyata nama ‘Lao Tze ‘ sendiri hanyalah sapaan kehormatan. ‘Lao’ berarti tua atau sang tua yang bijak. ‘Tze’ berarti ajaran, dharma, kalam, logos atau pengetahuan. Berarti Lao Tze adalah Sang Bijak Yang Telah Memahami Ajaran Dharma. Nama asli Lao Tze adalah Lie Erl.

Dalam perjalananku mencari dan menyelami kebenaran hakiki aku diberkahi langit dan bumi untuk bertemu dengan seorang yang pikirannya begitu luar biasa. Seseorang yang mampu meletakan dasar-dasar spiritualis yang khazanah pemikiran dan kedalaman mistiknya selama ribuan tahun hanya bisa diselami oleh segelintir orang saja.

Dalam kurun waktu 300 tahun yaitu antara tahun 600 s.d 300 SM dunia dibanjiri gelombang para pemikir kelas dunia yang meletakan dasar-dasar pemikiran klasik. Di Yunani kita dapati Socrates, Demokritos, Plato, Aristoteles dan Zenon (pendiri filsafat Stoa) dan Epikuros. Di India kita dapati Buddha Gautama. Di China kita dapati Lao Tze dan Kong Fu Tze. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa seandainya sejarah suku-suku Inca, Maya dan Aztek masih ada sekarang, akan kita dapati pemikir-pemikir besar di rumpun kebudayaan tersebut. Dilihat dari seni dan pencapaian teknologi mereka saat itu, tidak terbesit keraguan bahwa kebudayaan besar pernah menjamur di sana.

Betapa dunia telah berhutang budi pada China, India dan Yunani karena pemikiran-pemikiran tokoh di atas mampu bertahan ribuan tahun tanpa perlu meminta diakui sebagai ajaran yang terakhir dan sempurna, bahkan tanpa perlu mengatas-namakan suatu pribadi tuhan yang berada di atas sana yang memfirmankan suatu sabda yang kekal dan mutlak benar . Namun tak pernah sekalipun ajaran2 pemikir ini menghasilkan peperangan yang brutal dan meluluh-lantakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kita dapati dalam sejarah Kristen dan Islam.

Tidak dapat disangkal bahwa theologia agama Kristen awal berhutang budi pada pemikiran filsuf naturalis, neoplatonis, stoa dan epikurianisme. Begitu pula ilmu kalam islam berhutang budi pada pemikiran kristen, yahudi, stoa, zoroastrian dan aliran mistik India - Persia lainnya yang menghasilkan sufisme.

Siapa bilang sufisme lahir dari jantung agama islam? Jikalau benar, kenapa sufisme mesti lahir di Bagdad dan Persia, dan bukan di Arab? Pula mengapa tokoh-tokoh sufi selalu bersentuhan dengan dunia mistik Zoroaster, kristen, yahudi, dan India? Itu karena sufisme adalah anasir yang sama sekali asing yang dicangkokan ke dalam budaya Islam, memakai pola pikir, budaya dan mitologi Islam untuk melembutkan Islam yang kering dalam spiritualitas dan gahar dalam pendekatan kepada budaya asing. Generasi-generasi awal Islam adalah generasi gahar dan legalis yang haus akan tanah, darah, keanggotaan dan penguasaan teritori. Dalam budaya kekerasan semacam ini, kelembutan dan kedalaman berpikir macam apa yang dapat kita harapkan? Lewat sufisme, kedalaman mistik dibalut dalam cangkang eksoteris Islam. Dan tentu saja mesti ada yang didegradasi akibat penyatuan dengan kutub yang terlampau ekstrim itu. Dan sampai sekarang hanya sedikit dari kaum sufis yang bisa menembusi dunia maya aqidah dan tarikat islam. Sayang sekali.

Salah jika anda berpikir bahwa seorang spiritualis semacam saya akan mengangguk-angguk dan memuji-muji agama tertentu hanya untuk menyenangkan hati pemeluknya sedangkan fakta sejarah memperlihatakan hal yang berlainan. Ingat, menjadi spiritual adalah melepaskan kemunafikan dan kebodohan yang ditanamkan kuat-kuat oleh agama yang hanya mengutamakan cangkang.

Terkhusus untuk Lao Tze dan Kong Fu Tze, mereka pernah bertemu dan berbagi idea. Konon mereka bertemu hanya satu kali dan pembicaraan itu berlangsung tiga hari tiga malam. Kekaguman Kong Fu Tze pada Lao Tze yang umurnya jauh lebih tua dari padanya, tidak pernah ditutup-tutupi. Setelah pertemuan itu Kong Fu Tze pulang ke rumah dan mengurung diri tiga hari lamanya.

Ketika seorang muridnya menanyakan kesan-kesan yang ia dapat dari pertemuannya dengan Lao Tze, Kong Fu Tze berkata:

“Aku tahu sebabnya burung-burung bisa terbang dan aku dapat menjaring mereka seketika hendak terbang . Aku tahu sebabnya ikan bisa berenang dan aku mampu menjalanya seketika mereka sedang berenang. Aku tahu sebabnya binatang bisa berlari dan aku dapat menangkapnya seketika mereka hendak berlari. Namun apa bila seekor naga menginjak awan dan terbang ke angkasa, aku tidak mengetahui sebabnya dan aku tak tahu bagaimana menanggkapnya. Hari ini aku bertemu dengan Lao Tze dan mendapat kenyataan betapa samar pelajarannya dan sulit dipahami bagai seekor naga.”

Lao Tze menasihatkan kepada Kong Fu Tze agar tidak kaku dalam menjalani hidup. Kebijaksanaan di jaman-jaman lampau adalah peninggalan masa lampau. Dan di setiap jaman manusia berkewajiban untuk mencari pemahaman yang lebih segar yang sesuai dengan tuntutan jamannya, dan tekun belajar kepada alam yang selalu merentangkan sayap-sayap kebijaksanaannya agar manusia dapat memahaminya.

“Apa yang disebut kebajikan dan keadilan adalah hal yang membingungkan hati orang, bagaikan nyamuk di malam hari yang menggigit dan membuat kita terjaga. Kebajikan dan keadilan hanya bisa menambahkan kebingungan dan masalah untuk manusia. Lihatlah bulu-bulu angsa yang tetap putih tanpa perlu dicuci tiap hari. Pula gagak yang hitam kelam tanpa perlu dicelup dalam tinta. Langit begitu tinggi dan bumi begitu dalam. Matahari dan bulan begitu benderang. Bintang-bintang ajeg dalam posisinya masing-masing. Pepohonan dan rumput berbeda satu sama lain. Jika engkau ingin memahami Tao, hendaklah engkau mengikuti hukum alam dan engkau akan memahami Tao secara alami. Apakah gunanya mempromosikan kebajikan dan keadilan? Tidakkah itu sama konyolnya dengan mencari domba yang hilang dengan menabuh genderang? “ Demikianlah salah satu pesan Lao Tze kepada Kong Fu Tze.

********



Setelah berbicara ke sana kemari sebagai sebuah pembukaan maka aku memberanikan diri menanyakan beberapa hal yang selama ini menggelayuti pikiranku.

Jalan Kebijaksanaan dan Metoda

“Shifu, apakah jalan kebijaksanaan yang terbaik menurut anda?”

“Pada mulanya, oh Musafir, tidak ada jalan di tempat itu. Kemudian seseorang meretas jalan, menebang jewawut dan onak duri. Kemudian seorang yang lain mengikuti jejak setapak yang ditinggalkan oleh orang pertama. Setelah itu orang ketiga, keempat dan seterusnya memperlebar dan memperindah jalan itu. Tak lama kemudian muncullah generasi orang-orang bodoh yang dengan lantang mengatakan hanya jalan itulah yang paling benar, paling mulia, dijamin paling tokcer sedang jalan yang diretas oleh orang lain adalah jalan yang sesat, keliru dan berbahaya.”

“Dan generasi orang-orang bodoh itu mengkebiri hasrat orang-orang pemberani yang ingin meretas jalan mereka sendiri-sendiri berdasarkan kemampuan dan kecenderungan mereka.” Aku menyela tidak sengaja.



“Tepat seperti itulah yang aku maksud. Seorang yang bijak tidak akan pernah berkata dengan pongah, hanya inilah jalan atau metoda yang paling benar, tepat, dijamin tokcer. Seorang yang bijak justru akan mundur dari keramaian, tidak pernah mau menyandang pedang, tidak pernah mau menduduki kursi kepemimpinan, tidak mau menjadi pusat perhatian. Seorang bijak justru mendorong para penekun kesucian untuk meretas jalan mereka sendiri-sendiri berdasarkan kecenderungan bathin dan tingkat pemahaman intelektualitas mereka. Ia hanya memberi contoh hidup dan prinsip-prinsip hidup yang umum.

Perkataan seorang bijak menekankan pada upaya pencerahan kepada orang lain, biar mereka sendiri yang memutuskan mana yang terbaik, bukannya menetapkan hukum yang keras, kaku dan tidak bisa diubah serta mengatas namakan dewa-dewa tertentu untuk memperoleh simpati dari pemercayanya.”

Aku termenung menyerap semua perkataannya dalam-dalam. Oh seandainya para pemimpin agama bisa seperti ini, maka agama akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Tapi apa yang aku lihat tidaklah demikian. Justru ada pemimpin keagamaan yang narsisnya setengah mati, minta diakui ini dan itu, mengatakan ajaran dia sajalah yang paling terakhir dan sempurna sedang yang lain korup, sesat dan menyesatkan. Bahkan bukannya ia memperkenalkan tuhan yang lembut dan mencerahkan umat, namun suatu sosok tuhan egois yang haus sesembahan dan pengakuan yang menakut-nakuti umat manusia dengan sumpah demi ini dan itu, menakut-nakuti umat bodoh dengan neraka yang menyala-nyala dan mengiming-imingi surga yang penuh bidadari atau kebahagiaan lain. Dengan tanpa malu-malu ajaran ini menyebar kebencian kepada kaum lain dan menjarah harta dan memenggal kepala musuh-musuhnya sebagai tindakan kepahlawanan. Dalam hal ini agama bukan jadi rahmat bagi semesta alam, melainkan laknat bagi semesta alam.

Sedih sekali aku jika memikirkannya. Tak kuasa air mata ini meleleh.

Wu Wei – Jalan Tiada Berbuat

Kemudian Lao Tze melanjutkan wejangannya:

“Lihatlah alam semesta dan ambillah pelajaran darinya. Bagaikan matahari yang tidak pernah lelah menyinari bumi, tak perduli apakah di hari ini langit cerah tanpa awan tebal atau di lain hari awan tebal menutupi jalan cahayanya. Ia tidak penah merasa terganggu dengan pujian dan cacian manusia apabila sinarnya terlalu berlebihan atau kurang demi memenuhi kepentingan mereka masing-masing.



Bagaikan aliran air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah tidak peduli pujian dan cacian dari manusia , entah manusia akan menganggap air itu sebagai berkat karena bisa mengairi sungai dan menambah volume air sumurnya, atau menganggapnya sebagai musibah karena datang dengan debit yang besar dan menjadi banjir bandang yang melanda pemukiman penduduk. Itulah kodrat alam yang melekat di dalam dirinya.



Demikianlah seorang bijak yang menebar kebajikan, ia berbuat seolah-olah tidak berbuat. Karena tidak ada motivasi untuk mendapatkan pahala dari kebajikan itu.Ia hanya meneruskan apa yang bunda alam berikan kepadanya dalam kesewajaran. Inilah yang disebut wu-wei yakni jalan tiada berbuat.”



Aku menyimak perkataan Lao Tze dengan penuh kewaspadaan. Ternyata apa yang beliau katakan memiliki kesamaan dengan agama-agama timur lainnya yang memang memiliki spiritualitas yang tinggi, dalam dan lembut, semisal beberapa aliran dalam hindudharma dan buddhadharma.



Dalam hindu jalan wu-wei ini disebut karmayoga. ada tiga jenis karma (buah perbuatan): karma, wikarma dan akarma:



-Karma adalah hukum aksi reaksi yang melingkupi apa yang kita perbuat sehari-hari dalam dimensi dualitas, dan moralitas. Karma baik menghasilkan buah yang baik, karma buruk menghasilkan buah yang buruk.



-Vikarma adalah tindakan yang jelas-jelas mengandung intensitas jahat dan merusak diri sendiri, sesama dan alam, yang nyata-nyata harus dijauhkan.



-Akarma adalah perbuatan yang tidak menghasilkan baik itu karma baik maupun karma buruk karena aktivitas akarma tidak disertai dengan niatan hati, namun semata-mata sebagai respons refleksif dari hati terdalam yang hening, tenang dan penuh dengan kewaspadaan yang menjauhkan diri dari 2 kutub ekstrim dan nafsu ragawi. Semua dilakukan karena panggilan dharma.



Ketika kebajikan yang kita perbuat dimotivasi dengan pahala surgawi / berkah-berkah fisikal dan mental maka itu akan menghasilkan karma, namun apabila setiap perbuatan kita, entah itu positif atau negatif yang tidak disengaja, atau dikondisikan karena keterpaksaan seperti berperang (ingat kasus Arjuna dan Krisna) maka perbuatan apapun tidak akan menyentuh relung diri yang terdalam. Karena kita bebas dari motivasi duniawi dan surgawi maka tidak ada benih yang ditabur. Ketika tidak ada benih yang ditabur, maka tidak ada pula buah yang akan diambil di kelahiran yang akan datang. Ketika tidak ada kemungkinan kelahiran yang akan datang maka pintu gerbang pembebasan / moksa / nibanna terbuka lebar. Itulah karmayoga.



Dalam buddhisme, jalan Wu-Wei ini diceritakan dalam Sutra Intan. Seorang teman buddhis pernah meminjamkan buku ini kepadaku.



Tidak seperti pemahaman umum orang buddhis awam yang percaya bahwa kitab2 tripitaka berasal dari mulut Sang Buddha sendiri yang diingat dan dituliskan ke dalam dokumen2 lontar dll oleh murid2nya, sutra ini tentu saja tidak ditulis tepat seturut ucapan dari bibir Buddha Gautama karena kitab ini ditulis kira-kira 400 – 500 tahun setelah Gautama wafat. Namun pesan intinya tidak berbeda dengan sutra-sutra kaum theravadin yang ditulis lebih awal sekitar 200 – 300 tahun setelah Gautama wafat yang bercorak lebih historis dan insani. Dalam mitologi buddhisme cina, konon Sutra Intan inilah, beserta Prajna Paramitha dan Suranggama, yang dicari oleh bikshu Tong dan Sun Go Kong Cs dalam kisah Perjalanan ke Barat.



Sutra Intan mengisahkan tentang wejangan buddha Gautama kepada Bodhisattva Subuthi mengenai perbuatan bajik. Yakni ketika seorang bodhisattva, seorang yang telah hati dan pikirannya terarah kepada spiritualitas dan cita-cita altruistik, melakukan pertolongan / tindakan kebajikan, maka sang bodhisattva itu hendaknya selalu mengingat ….faktor ini:

- lupakan siapa yang telah melakukan kebajikan itu (subyek)

- lupakan apa bentuk kebajikan itu (predikat / verba).

- lupakan siapa yang telah mendapatkan kebajikan itu (obyek)

- lupakan dimana, dengan cara apa, seberapa banyak, dan kapan kebajikan itu dilakukan (keterangan / adverbial)



Ketika faktor subyek, verbal, obyek, dan keterangan sudah dihapuskan, maka tidak ada lagi kalimat. Ketika tidak ada kalimat, mana ada logika yang melogikakan kekosongan kata itu? ketika tidak ada lagi kalimat-kalimat yang merangkai suatu jalan cerita kehidupan untuk dijalani, maka tidak ada kemenjadian / dumadi itu. itulah moksa. Itulah nibanna. Itulah Tao.



Inilah keindahan spiritualitas timur. Memang spiritualitas timur penuh dengan mitologi. Namun apabila mitologi itu kita sibak, maka akan kita dapati suatu lautan spiritualitas dan kemanusiaan yang tinggi, dalam dan lembut. Beda sekali dengan agama-agama monotheistic yang dipenuhi dengan dogmatika dan iman akan kisah-kisah mitos. Ketika mitosnya ditelanjangi yang ada adalah kekecewaan. Maka tidak aneh apabila para atheis berasal dari kalangan Islam dan Kristen, bukan dari Hindu, Buddha, dan Tao karena sejatinya agama2 ini adalah filsafat hidup, bukan sabda dari suat tuhan berpribadi yang bersifat mutlak benar yang minta disembah-sembah, haus kuasa, dan diskriminatif.





Hidup Dalam Kebajikan adalah Hidup Dalam Kesewajaran



“Ketika orang mengetahui kebajikan, oh Musafir, maka pada saat itu pula mereka mengenal ketidak bajikan. Untuk itu orang bijak tidak mau mengajarkan apa itu kebajikan dan memformulasikannya, cukup hanya memberi contoh hidup.



Ketika manusia diajari apa yang boleh dan tak boleh, maka nafsu mereka akan bergejolak. Kaki dan tangan mereka bergegas untuk mengerjakan apa yang tidak boleh. Lebih baik ajari mereka dengan contoh hidup dalam kesewajaran.



Karena itu sesuatu yang wajar, perlukah kita menuntut pahala dari kebajikan yang kita perbuat?



Apakah pahala yang patut kita tuntut dari membalas budi orang tua, mencintai istri atau suami kita, mengurus anak dan cucu, menghormati orang lain, dan bersikap baik pada diri sendiri? Tidak ada, bukan? Karena hal itu memang sudah sewajarnya ada dalam diri orang yang dewasa.



Jika itu wajar, untuk apa pula kita kita membakukannya dan memberi stempel atas nama langit, atas nama dewa, atau atas nama bumi?”



Aku termenung dalam-dalam. Inilah kebijaksanaan yang sebenar-benarnya. Berbeda sekali dengan agama-agama monotheistik yang selalu kalap dan bergegas memakai nama tuhan, allah ta’ala dsb untuk melegalkan apa yang boleh dan tidak boleh. Bahkan alquran memperlihatkan allah yang senang menuntut balas, gila hormat, senang bersumpah demi ini dan itu, senang kekerasan dan berbagai peraturan remeh temeh yang sama sekali begitu inferior dibandingkan dengan semesta pemikiran agama-agama timur yang semata-mata bertumpu pada kebijaksanaan filsafat dan etika. Aku menggeleng-geleng setiap kali memikirkannya.



Dan yang membuatku sedih adalah lebih dari setengah penduduk dunia terilusi dengan kebodohan dan kepongahan agama-agama monotheistik ini. Trend-trend yang ada saat ini semakin menguatkan thesis bahwa agama-agama yang intoleran dan berkualitas rendahan ini yang akan merajai dan menghantui pikiran manusia modern. Sedangkan agama-agama yang toleran akan tersingkir dan dipaksa mengakui kegagahan dan kedigdayaan agama-agama kelas rendah yang kasar dan pongah ini.

. Engkau telah nyata-nyata gagal membiarkan kekerasan dan peperangan a

Oh tuhan, jika engkau memang ada seperti yang agama-agama monotheistic gambarkan, maka akan aku seret engkau ke bumi dan aku ajak seluruh manusia untuk menghakimi kebodohan, kepandiran, ketololan dan kesempitan berpikirmutas nama agama dan atas namamu. Engkau tidak melakukan apa-apa untuk mencegah kerusakan dan terror yang dilakukan oleh pengusung namamu. Engkau layak dimasukan ke dalam neraka yang engkau ciptakan sendiri.



Namun sayang, sayang sekali, hal itu tidak mungkin, karena tuhan kaum theis adalah tuhan khayalan. Mana mungkin tuhan khayalan ini kita bakar dalam api neraka yang cuman khayalan juga? Karena dia khayalan maka tidak aneh apabila ia berdiam diri saja melihat pengikut2nya yang bodoh dan keras berlaku pandir atas namanya yang cuman khayalan saja.



Yang nyata adalah manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas dirinya, sesamanya dan alamnya.

Entah kita mau berperang atau berdamai, kita mau tetap bodoh atau pintar, jalan ditempat atau maju, itu semua tergantung kita sendiri, manusia. Jalan ini kita sendiri yang retas, kita sendiri yang tempuh. Nasib ini kita sendiri yang rajut, kita sendiri yang genapi.



Mempercayakan kehidupan ini kepada suatu agen di seberang sana, atau surga dan neraka di seberang sana adalah kebodohan dari segala kebodohan yang ada.



Ada banyak cara untuk memperdalam makna hidup kita kini dan di sini tanpa perlu bergegas mempercayai keyakinan2 yang sudah jelas-jelas cacat logika, diskriminatif, lancung, dan tidak manusiawi.





Hidup adalah perayaan



“Musafir, bagiku ada empat macam orang berdasarkan kecenderungan mental mereka dalam meresponi gelombang fenomena kehidupan.



“Apakah empat macam orang itu, Shifu?”



“Pertama adalah orang yang ketika memandang semua fenomena dalam kehidupan ini hanya tertuju pada kenikmatan dan penumpukan perasaan suka. Kehidupan ini bagi mereka nampak hanya memiliki suatu sisi saja, sisi-sisi keindahan yang mempesona, menarik mata, membangkitkan selera, menggugah rasa. Mereka mengejar kenikmatan dalam hidup dan menumpukan segala kenikmatan itu dalam makanan, harta, perasaan enak, kesukaan ragawi.



Ketika satu sisi lain dari kehidupan menyapa mereka, yaitu akhir dari kebahagiaan ragawi, rasa sakit, sakit penyakit, kedukaan dan kematian menghadang mereka, mereka menangis tersedu-sedan bagaikan ikan yang diambil dari air, bagaikan cacing yang kepanasan. Terhadap orang semacam ini, aku sebut mereka orang yang hedonis.



Kedua, adalah orang yang ketika memandang semua fenomena dalam kehidupan ini hanya tertuju pada kedukaan, rasa sakit, kemalangan dan ketidak-berpengharapan. Apa yang ada nampak di sekeliling mereka hanyalah lara dan nestapa. Hidup adalah kutuk dalam dirinya sendiri. Tiada lagi harapan yang terkandung dalam senyuman riang bayi yang digendong oleh ibunya, tiada lagi keindahan kepolosan tawa remaja yang sedang dilanda kasmaran. Suara burung dan desiran angin tak lebih dari rintihan gagak yang membawa berita kematian. Hidup bagi mereka adalah untuk disangkal, dan kebahagiaan adalah untuk dijauhi.



Ketika sisi-sisi keindahan menyapa mereka, mereka telah kehilangan rasa keindahan itu, bagaikan daun talas yang segera menolak air yang jatuh ke atasnya. Hidup mereka hanya menanti-nantikan akhir dunia dan pembalasan kepada orang-orang yang mereka sangka sebagai kaum pemuas nafsu. Terhadap orang semacam ini, aku sebut mereka adalah orang yang pesimis.



Ketiga adalah orang yang ketika memandang semua fenomena dalam kehidupan ini baik suka maupun duka, selalu terlibat didalamnya secara mendalam. Ketika sisi2 keindahan hidup menghampiri mereka mabuk dalam kebahagiaan seakan-akan tidak ada pesta yang tak akan berakhir. Namun mana kala ada kebahagiaan dan kenikmatan itu berakhir, mereka larut dalam kedukaan, mengerang-erang dalam rasa sakit dan kehilangan kenikmatan itu bagaikan ikan yang diambil dari air. Terhadap jenis orang semacam ini, aku sebut mereka orang yang realistis.



Begitu banyak orang awam masuk kedalam golongan pertama, tidak kurang banyaknya orang yang masuk golongan kedua. Namun yang paling banyak adalah masuk golongan yang ketiga.

Aku tak ingin , oh musafir, engkau masuk ke dalam ketiga golongan ini, entah itu hedonis, pesimis, maupun realistis karena sejatinya panggilan bathinmu tidak mengarah pada salah satu dari 3 jalan itu.



Ingatlah, oh musafir, bahwa jalan hidup seorang mistikus berlainan arah dari jalan orang kebanyakan. “



“Jadi Shifu, jalan keempat pastilah jalan yang terbaik. Namun Jalan apakah itu? orang jenis apakah itu?”



“Orang jenis keempat adalah orang yang ketika memandang semua fenomena dalam kehidupan ini baik suka maupun duka , mereka menikmatinya dengan sewajar-wajarnya dan menembusinya dengan kebijaksanaan bahwa segalanya hanyalah terjadi sebagai manifestasi dari buah akibat dari benih sebab yang pernah ia perbuat. Ketika kebahagiaan menghampirinya ia bersukacita dalam kebahagiaan itu tapi tidak pernah lepas dari kewaspadaan bahwa suatu saat ini pun harus berakhir. Ketika kedukaan menyapa hidupnya ia merasakan kesedihan namun tidak pernah lepas dari pemahaman bahwa kedukaan ini datang sebagai manifestasi buah akibat dari benih sebab yang pernah ia perbuat. Jika ada awal dari kedukaan maka pasti ada akhir dari kedukaan. Apapun fenomena hidup yang terjadi dalam hidupnya, hanya mampu mencapai bagian terluar dari dirinya, namun diri sejati yang ada di dalamnya tetap tenang dan lirih, mampu membedakan segala fenomena yang datang dan pergi. Terhadap orang jenis keempat ini aku namakan dia selebritis.



Ia merayaan masa mudanya secara wajar. Ia menikmati sukacita hidup bersama istri di masa mudanya. Ia merasakan berat hidup sebagai seorang pencari nafkah, ia merayakan tangisan pertama bayinya. Ia merayakan hari-hari dimana kegelapan menyapanya.



Ia menyambut secara wajar kebahagiaan dan kelapangan, namun tidak menampik kedukaan, keterpisahan dan kesempitan yang mengikutinya.



Ia merayakan keindahan hidup entah ia menikah atau memutuskan hidup untuk tidak menikah.



Kebahagiaan dan keberhasilan tidak pernah membekukan hatinya, dan kedukaan dan kegagalan tidak mampu menghancurkan hatinya.



Bagaikan air danau yang beriak-riak di bagian atas, namun tenang dan teduh di bagian dalamnya, demikianlah pikiran seorang yang terarah kepada Tao, ia mengembalikan semua fenomena ini kepada alam dan kehidupan. Karena ia sendiri adalah bagian dari kehidupan yang lebih luas.



Jadilah engkau sang selebritis yang merayakan hidup ini dalam kesederhanaan dan kesewajaran, oh Musafir.”





Menyepi



“Shifu, untuk ke sekian kalinya ijinkan saya bertanya, adakah cara lain agar shifu tidak mengundurkan diri dan menyepi. Karena ada banyak orang yang masih perlu dicerahkan dan dibimbing olehmu.”



“Musafir, aku sudah tua, namun bukan karena umur aku mengundurkan diri. Namun karena kebaikan semua pihak. Jika aku terus menerus ada di antara manusia, maka mereka tidak akan dewasa. Untuk setiap hal kecil yang mampu mereka jawab sendiri, mereka tetap akan menanyakan ini dan itu dariku.



Seorang yang bijaksana tahu kapan ia harus berada bersama manusia lainnya, dan kapan ia harus menyepi. Aku percaya bahwa kepergianku akan membangkitkan kedewasaan berpikir manusia yang berpikir. Jangan tergoda untuk selalu menjawab ini dan itu karena itu melelahkan dan tidak membawa banyak pencerahan. Jangan tergoda untuk membantu melebihi kapasitas dirimu. Biarlah manusia sadar bahwa setiap mereka adalah murid sekaligus guru. “



Aku selalu percaya bahwa sebenarnya hal yang paling baik dari seorang spiritualis adalah tidak mendirikan agama, tidak mengaku dirinya seorang nabi, tidak memangku jabatan politis, tidak mengangkat pedang dan memungut pajak hizaz dari kaum dhimmi, tidak mendirikan dinasti, hidup dengan seorang istri dan bukan mengkoleksi istri, namun bagaimanapun fakta berbicara lain. Dan milyaran orang percaya akan kesempurnaan nabi yang demikian. Pantaslah begitu inferior ajarannya ketimbang ajaran Lao Tze, Buddha, Stoa dan spiritualitas natural lainnya.



Seperti yang banyak diketahui bahwa berdasarkan legenda, Lao Tze menunggangi seekor kerbau dan menuju ke barat untuk menyepi dan moksa. Pertanyaan yang selalu menelisik dalam diriku adalah mengapa kea rah barat? Ada apa di barat itu?

Sebelah barat dari China adalah India. Apakah Lao Tze hendak ke India?

Atau adakah makna lain dari kata barat?



Kalau pembaca ingat note saya sebelumnya, Atheist Pietis, di situ saya sebut-sebut tentang Buddha Amitabha, bersama dengan Avalokitesvara dan dan Maha Stamaprapta, mereka sering disebut Tiga Suciwan dari Surga Barat. Kenapa musti arah barat lagi?



Menurut analisa saya adalah ini:



Pertama, kalaupun ‘barat’ yang dimaksud Lao Tze itu adalah India, atau tepatnya pegunungan Himalaya, maka ini pun masih logis karena dari dulu para suciwan India senang menyepi di gunung-gunung Himalaya. Pegunungan Himalaya adalah Sumeru atau axis mundial rohani dari para mistikus. Dan gunung Sumeru sebenarnya adalah symbol dari tulang belakang kita yang menopang organ-organ penting kita. Dan tegaknya Sumeru berarti kehidupan yang meditatif. Karena meditasi selalu, walaupun tidak mutlak, digambarkan dalam posisi tulang belakang yang tegak. Lihat arca para buddha. Bahkan dalam keadaan tidur, gaya tidur buddha yang khas itu memperlihatkan betapa pentingnya tulang belakang tetap terjaga tegak dan selaras.



Kedua, ' barat' berarti paripurna atau penggenapan semua misi hidup ini. Bagaikan matahari yang beranjak dari timur dan tenggelam di barat, maka barat berarti tergenapkannya semua misi kita di bumi.



Jadi frasa ‘ke arah barat’ bagiku adalah alegori dari kehidupan yang kontemplatif yang diarahkan pada kesempurnaan, karena merasa bahwa segala tugas, karma dan dharma di dunia ini sudah selesai atau akan segera diselesaikan.





Perpisahan Yang Tak Kuinginkan



Setelah begitu banyak pertanyaan yang aku lontarkan kepada Lao Tze, akhirnya saat itu tiba.



Di momen-momen terakhir itu Lao Tze berkata:

“Musafir, ketika dua orang kaya bertemu, pada saat perpisahan mereka saling memberi cinderamata. Namun aku bukanlah orang kaya. Aku hanya bisa memberimu semangat dan dorongan:

jadilah murid dan sekaligus guru dalam hidupmu. Hiduplah dalam kesederhanaan dan keselarasan. Rayakanlah hidup ini. Jangan sekali-kali dibingungkan dengan segala macam teori. Itu semua hanya pendekatan kepada Tao. Karena Tao sejati tak terkatakan dan tak terkonsepkan.”



Aku menunduk dan tak kuasa menahan lelehan Kristal cair di ujung kedua mataku. Aku tak menginginkan perpisahan ini. Namun inilah hidup. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya.

Perlahan Sang Bijak yang tua ini menghilang dari depan mataku, hanya asap tipis yang mengiringi kepergiannya. Sungguh misterius kepergiannya.



**********



Aku terhenyak dan terbangunkan. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Segera aku melirik ke jam di kamar itu. Ternyata jam 2 pagi. Aku mengumpulkan kesadaranku. Ya aku sedang mengadakan retreat pribadi di sebuah lereng gunung di Jawa Barat. Aku baru saja bermimpi bertemu dengan Lao Tze. Suatu mimpi yang aneh! Mimpi ini terjadi kira-kira 12 tahun setelah aku bertemu si Mbah Ateis Pietis di Magelang, dan tepat 3 tahun sebelum bermimpi bertemu dengan Dewi Saraswati dan pertemuan misteriusku dengan sang Bijak di Pangandaran.









Bagian Dua



Ya..... Tapi Aku Belum Siap Jadi Atheis.



“Ya… aku setuju dengan semua penjelasanmu bahwa agama itu begini –begitu dan tuhan itu cuman begini dan begitu. Tapi masalahnya aku belum siap jadi atheis. Aku masih ingin berdoa dan meminta. Aku belum siap jadi seorang nihilis yang bebas melakukan ini dan itu tanpa rasa takut apapun.”

Begitulah jawaban yang selalu saya dengar dari teman-teman saya. Mereka sadar akan keterbatasan dan kebodohan agama, namun merasa tak berdaya untuk keluar dari lingkungan dan mental keberagamaan mereka.



Namun justru di saat itu aku bertanya, “ Memangnya dari sejak kapan aku pernah menganjurkan orang lain untuk menghancurkan semua nilai, kemudian Hiduplah seenaknya sendiri, selingkuhlah, korupsi uang negara, puaskan nafsumu karena tidak ada surga dan neraka sesudah kematian? Apa pernah aku menganjurkan demikian? Pernahkah aku katakan 'karena tuhan itu tidak ada, maka hiduplah sesuka hatimu? pernahkah ? Aku hanya menjawab pertanyaan2mu tentang tuhan dan aku katakan bahwa tuhan dalam agama-agama dan tuhan dalam benak kebanyakan manusia adalah tuhan khayalan. Dan tuhan-tuhan antromorphistik semacam itu sudah selayaknya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan sains dan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dari pada pada saat agama-agama kuno itu terbentuk.”



Pahami apa konsep tuhan itu dan tembusi agar kita bisa melihat horizon semesta yang lebih luas lagi. Itulah kuncinya.



Tuhan-tuhan dalam agama monotheistic adalah tuhan berpribadi. Dan tuhan yang berpribadi ini cenderung korup, egois dan tidak manusiawi. Itulah kenapa ada gerakan atheisme, karena sejatinya atheisme ini adalah antithesis dari theisme. Semakin ekstrim suatu gerakan theistic, akan dengan sendirinya menimbulkan reaksi yang sama dengan kemunculan atheistic yang ekstrim.



Sementara kita tahu bahwa tuhan itu hanyalah konsep yg dibuat manusia untuk mengacu kepada sesuatu, maka adalah wajar bagi kita untuk mengetahui apa sih yang dijadikan titik tuju oleh konsep ketuhanan itu.



Bagiku Atheisme hanyalah sisi lain dari theisme. Ia bukan jalan tertinggi, namun jalan yang paling rasional dan ampuh untuk menghancurkan dongeng-dongeng kuno tenang tuhan ala kitab-kitab agama.





Hawking, Einstein dan Tuhan



Beberapa waktu yang lalu Stephen Hawking, seorang fisikawan teoritis dari Inggris, dalam wawancara seputar peluncuran bukunya yang berjudul Grand Design mengatakan bahwa penciptaan semesta tidak memerlukan tuhan. Alam semesta tercipta akibat hukum-hukum fisika tanpa campur tangan tuhan. "Karena ada hukum gravitasi, alam semesta bisa dan memang terbentuk sendiri dari ketiadaan," kata Hawking.” tandasnya.



Sontak saja para rohaniwan Kristen, Yahudi dan Islam di Inggris dan Amerika memberi pendapat sanggahan bahwa tidak mungkin alam raya ini terjadi dengan sendirinya tanpa adanya tuhan. Tak ketinggalan pula Fattah Wibisono ,seorang pengurus pusat Muhammadiah, meminta para fisikawan muslim Indonesia untuk menguji teori Hawking dan mementahkannya karena Islam percaya bahwa allah swt pencipta alam semesta.



Saya sungguh terpingkal-pingkal menyikapi kejadian di atas, terutama masalah “fisikawan muslim”. Sejak kapan sains harus minta persetujuan dogma agama? Justru sepanjang sejarah dogma-dogma agama justru terbukti tidak sejalan dengan kebenaran sains. Hanya karena kenaifan dan inferioritas para ideolog agama saja yang senang mengias-ias fenomena alam dan kebenaran sains dan dicocok-cocokan dengan alquran atau bible seakan-akan kitab2 ini telah memuat rahasia-rahasia besar sains. Seorang dewasa yang jujur dan intelektual akan menertawakan kebodohan-kebodohan tersebut.



Beda halnya dengan Einstein. Melihat keindahan dan kerumitan alam semesta ia pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan alam. Pada tahun 1929 Rabbi Herbert S Goldstein dari New York mengirim telegraph kepada Einstein dan bertanya apakah ia seorang atheist atau pemercaya tuhan. Dan Einstein menjawab:



"I believe in Spinoza's God, who reveals himself in the lawful harmony of the world, not in a god who concerns himself with the fate and the doings of mankind."



“Aku percaya pada konsep Allah menurut Spinoza, yang menyatakan dirinya dalam tatanan harmoni semesta, bukan pada allah yang menyibukkan dirinya dengan takdir dan perihal umat manusia.”





Siapakah Spinoza? Dan apakah konsep ketuhanan menurut Spinoza?





Spinoza : Allah atau Alam atau Substansi



Spinoza adalah seorang filsuf keturunan Yahudi yang tinggal di Belanda. Kakek dan ayahnya berasal dari Portugal yang lari ke Belanda mencari kebebasan berkeyakinan karena menolak berpindah agama ke agama katolik.



(Curiosity Mode : ON, kenapa musti orang Yahudi terus sih yang mendobrak kebekuan pemikiran dunia? Apa karena memang mereka bangsa pilihan Tuhan? Bukan. Jawabannya : karena kebanyakan dari mereka adalah individu-individu yang tekun dan berpikir terbuka, resah dengan status quo dan tidak pernah lelah mendobrak batas-batas kemampuan berpikir manusia. Beda dengan saudara serumpun mereka orang Arab, yang belum apa-apa sudah memberi pikiran mereka dibelenggu oleh tradisi dan iman. Ingat pepatah Inggris : restlessness is the mother of invention, dan kaum yahudi telah membuktikannya berkali-kali.)



Spinoza muda memang dididik dalam ketaatan agama yahudi sebagaimana lazimnya remaja yahudi saat itu ia dididik dalam madrasah yahudi. Namun jiwanya yang bebas tidak sanggup menerima keterkungkungan dogma. Ia lebih senang mempelajari ilmu filsafat. Ia mempelajari filsafat Descartes, seorang rasionalis di jamannya, dan menemukan ketidak-konsistenan di dalam filsafatnya, dan kemudian ia melampaui filsafat Descartes.



Dari jaman pemikir klasik sampai Descartes, para filsuf selalu membicarakan tentang substansi, yaitu apa yang membuat alam semesta dan kehidupan ini mengada. Descartes mempercayai bahwa ada 3 substansi dalam alam semesta ini, yaitu Allah (Deus) , jiwa / roh (res cogitans, realitas berpikir), dan materi (res extensa, realitas ber-ruang). Allah dan Jiwa adalah kekal. Manusia adalah mahluk yang berjiwa / roh yang kekal dan memiliki kehendak bebas. Pemikiran tersebut merupakan dasar pemikiran dan keyakinan tiga agama monotheistik juga.



Bagi Spinoza, pemikiran Descartes ini tentu saja menimbulkan ketidak-konsistenan. Sebab apabila selain Allah ada roh manusia yang kekal dan berkehendak bebas, maka kedaulatan Allah dipertanyakan karena kehendak bebas manusia dapat merintangi kedaulatan Allah atas semesta. Jika roh manusia itu kekal, maka kekekalan bukan milik Allah saja. Jika manusia itu memang berkehendak bebas, mengapa mesti ada siksaan neraka kekal?



Kemudian lewat kontemplasi yang rumit yang disusun lewat apriori dan aksioma yang dijabarkan secara geometris, ia berkesimpulan bahwa segala yang ada dalam alam semesta ini pastilah hanya terdiri dari satu substansi. Lalu apakah substansi yang ia maksud?



Subtansi adalah yang ada dalam dirinya sendiri, dan dipahami dalam dirinya sendiri tanpa perlu memahami suatu konsepsi yang lain.



Substansi yang tunggal atau monistik ini yang melahirkan segala yang bentukan yang ada (modus) sebagai sebab dari adanya atribut-atribut yang intrinsic terkandung dalam substansi itu. Ada berbagai atribut dalam substansi ini, hanya saja manusia hanya memahami dua dari sekian atribut substansi yang satu ini, yaitu idea -res cogitans, dan keluasan – res extensa. ( Saya sering tergoda untuk membayangkan, apabila Spinoza lahir di jaman Penyatuan Fisika Quantum dan gravitasi sekarang ini, maka ia akan menambahkan bahwa selain res cogitans dan res extensa, ada setidaknya atribut fisikal lain yang terkandung dalam modus yaitu 4 forsa, yaitu nuklir kuat, nuklir lemah, elekromagnetisme dan gravitasi).



Hanya ada satu kategori dalam pemahaman manusia yang sama dengan kategori substansi yang disodorkan oleh Spinoza, yaitu Allah / Tuhan.



Sejenak orang akan bertanya, “Apa bedanya keyakinan Spinoza tentang Allah dengan ajaran agama-agama yang sama-sama mempercayai adalah Allah yang satu?”



Nah, disinilah letak permasalahannya. Bagi Spinoza Allah adalah subtansi satu-satunya yang melahirkan kesegalaan yang ada / alam semesta.



Deus sive substantia sive Natura

Allah (atau) adalah substansi (atau) adalah Alam.



Atau dengan kata lain : Allah, Alam dan zat pengada segala yang ada adalah satu hakikat yang tak terpisahkan.



Allah atau Alam Semesta adalah satu dan suatu hakekat yang bisa dipertukarkan (interchangeable) . Segala-galanya adalah Allah dan Allah adalah totalitas dari kesegalaan yang ada. Pada gilirannya maka manusiapun adalah bagian dari Allah itu sendiri yang dalam keluasannya (res extensa) mewujud dalam alam semesta.



Dengan demikian Spinoza menolak keyakinan akan adanya suatu Tuhan yang berpribadi yang mencipta alam semesta, yang menggariskan takdir alam semesta (teleologis), yang terpisah dari alam semesta dan yang bertahta di surga, mem-back up suatu agama, mengangkat nabi-nabi dan membisikinya dengan sabda-sabda yang nantinya dikumpulkan jadi kitab suci.



Spinoza menolak dengan tegas keyakinan kitab suci yang tidak bisa salah. Baginya kitab suci adalah kitab-kitab sastra buatan manusia yang disakralkan begitu rupa oleh pemercayanya saja. Kebangkitan tubuh kristus baginya tidak lebih dari kisah-kisah alegoris yang mengisahkan psikologis manusia secara universal. Keyakinan akan adanya tuhan di seberang sana yang mengatur dunia, menjamin suatu kaum dan suatu agama adalah keyakinan kekanak-kanakan yang tidak diperlukan lagi oleh manusia dewasa.



Inilah kenapa ia dihujat habis-habisan baik oleh komunitas yahudi maupun kristen di Belanda. Kutukan, caci maki dan hinaan ia terima dengan lapang dada. Ia dicap sebagai seorang atheis. Sekalipun kata ‘Allah’ bertebaran di sana-sini dalam dalil-dalil filsafatnya. Ironisnya cacian yang begitu kasar dari mulut para rohaniwan justru ia balas dengan kerendahan hati dan moralitas yang tinggi. Inilah yang membuat para pemikir yang bersebrangan dengannya sekalipun akan angkat topi. Ia membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antara keberagamaan dengan etika dan moralitas. Sesorang yang religious bisa begitu amoral, sebaliknya seorang yang tidak religious bisa begitu bermoral dan beretika tinggi. Dengan ini maka gugurlah segala ketakutan para pejuang moral2 agama yang selalu menerapkan dogma demi kepentingan moral.



Apakah yang dengan mengatakan Deus sive natura, berarti alam semesta itu perlu disembah-sembah? Tuhan itu planet dan planet itu tuhan. Tuhan itu matahari dan matahari itu tuhan, begitukah?



Tentu saja yang dimaksud Spinoza tidak sebodoh itu. Inilah yang ia maksud dengan alam semesta:



- Dilihat dari sudut alam, Allah adalah natura naturans, alam yang melahirkan.

- Dilihat dari sudut Allah, alam adalah natura naturata, alam yang dilahirkan.



Jadi alam semesta dan semua yang ada yang bisa dicerap oleh indera ini, termasuk manusia di dalamnya, hanyalah perwujudan (modus) dari atribut res cogitans dan res extensa dari sang Subtansi yang tak terbatas itu.



Paham ini disebut monistik atau pantheist (pan = segala-galanya, theist = allah) yaitu paham yang meyakini bahwa segala-galanya adalah Allah, atau Allah adalah totalitas kesegalaan dari semua yang ada.



Jadi jelas bahwa bagi Einstein, sekalipun ia menyebut tentang Tuhan / Allah namun konsep Tuhan yang ada dibenaknya berbeda dengan tuhan berpribadi ala 3 agama langit itu. Begitu pula ketika Hawking dalam bukunya Riwayat Sang Kala mengatakan "Tuhan", sebenarnya tidak mengacu pada konsep tuhan theistic, melainkan deistik. Baru ketika ia meluncurkan bukunya yang terbaru, tuhan yang dimaksud adalah tuhan theistic.



Ketika para saintis mengatakan Tuhan atau Allah, belum tentu mengacu kepada konsep tuhan theistik ala agama2 monotheistik. Justru para saintis yang mengutamakan pendekatan empiris rasionalis menyandarkan pemahaman ketuhanan mereka kepada konsep ketuhanan ala Spinoza.



Pertanyaan bagi para saintis bukanlah “Siapa yang mencipta alam semesta?” karena pertanyaan itu dengan sendirinya tidak di dasari oleh pendekatan saintifik. Apa kriteria benar dan salah untuk jawaban dari pertanyaan yang subyektif ini?



Pertanyaan yang seharusnya diajukan pada para saintis adalah “Bagaimana alam semesta ini tercipta?” itulah pertanyaan yang tepat. Karena pertanyaan itu mengundang suatu jawaban yang mempersyaratkan metoda empiris dan rasionalis.



Begitu pula saya, dalam percakapan sehari-hari hampir sama sekali jarang saya menyebut-nyebut kata Tuhan / Allah, karena benak manusia disekitar saya sudah korup ketika saya menyebut kata Tuhan / Allah pikiran mereka akan sontak mengacu kepada tuhan / allah ala agama mereka. Jadi lebih baik saya tidak menyebut-nyebutnya. Untuk itu tidak aneh jika saya disebut si atheist. Ah biarkan saja disebut ‘gila’ oleh orang gila.





Brahman, Tao dan Sang Substansi



Secara mengejutkan, ternyata secara fundamental pemikiran Spinoza parallel dengan pemikiran filsafat timur, terutama filsafat Dvaita-Advaita dan Taoisme, begitu pula filsafat Sunyata - Nagarjuna. Sekalipun ketiga filsafat timur ini berlainan dalam penekanannya, ingat bahwa filsafat di timur tidak semata-mata sistem berpikir melainkan disiplin hidup yang penuh kontemplasi kepada nilai-nilai yang mistik.



Dalam Hinduisme, dikatakan bahwa segala-galanya adalah Brahman, dari Brahman inilah terpancar segala yang ada (dalam bahasa Spinoza : modus). Brahman ada dalam yang terkecil, dan terbesar, terlihat dan tak terlihat. Brahman sendiri mewadahi segala yang ada, dan tidak ada sesuatupun ada di luar Brahman. Dari Brhaman keluarlah dua sifat : purusha (idea, res cogitans) dan prakitri (apa yang berbentuk, materi, res extensa) kedua sifat ini tidak terpisahkan namun intrinsic melekat dalam segala bentukan yang ada (modus).



Karena segala yang ada adalah emanasi / pancaran dari yang satu, yaitu Brahman, maka manusiapun adalah bagian dari Brahman itu sendiri. Di lihat dari sisi manusia, yang sudah tercemar dengan konsep keegoan yang keliru / ahankara, ia terpisah dengan Brahman, maka ia menyebut dirinya atman, namun dilihat dari sudut pandang Brahman, sesungguhnya manusia itu tidak berbeda dengan Brahman, aham brhamasmi, akulah sang Brahman.



Dalam Tao, sekalipun penejalasannya tidak segamblang filsafat Dvaita-Advaita, namun dalam sanjak-sanjak yang samar ia melukiskan tentang kesegalaan Tao sebagai yang tak bernama, tak berawal dan tak berakhir. Tao yang sejati adalah Tao yang tak terkatakan. Tao sendiri tidak berkomunikasi pada manusia. Adalah manusia yang mengkonsepsikan Tao dalam keterbatasan logikanya. Jalan sejati kepada Tao bukanlah konsep berpikir namun disiplin hidup yang penuh dengan kesederhanaan, keselarasan dan kemanunggalan.



Dalam buddhisme, sekalipun Gautama bersikap agnotis tentang tuhan yang berpribadi dan menganggapnya sebagai tidak menolong dalam mengakhiri dukkha, dan semata-mata produk dari rasa takut dan ketidaktentraman manusia yang diliputi oleh ketidaktahuan avidya (hal ini sama persis seperti yang dikatakan oleh Fuerbach bahwa tuhan agama hanyalah abstraksi pengharapan dan rasa takut manusia dalam hidupnya), namun sedari awal memang Gauthama mengajarkan adanya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak (Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang ). Coba bandingkan pemahaman Gautama ini dengan Spinoza tentang Substansi. Dan Nagarjuna dengan konsep sunyata mencoba menjelaskan bahwa nibanna dan samsara adalah bagaikan satu koin dengan sisi yang berbeda. Dengan itu terbukalah lebar tafsiran bahwa nirvana bukanlah tempat diluar sana, namun kualitas kedalaman makna hidup yang direalisasi kini dan di sini.





Pantheisme Panentheisme dan Diagram Venn



Para pembaca yang budiman, jikalau anda perhatikan dengan jelas bagaimana saya begitu kritis dan analitis tentang agama dan tuhan, yang mengutamakan pendekatan rasionalistik dan empiris dalam mencari kebenaran, saya tetap tidak pernah kehilangan pijakan dalam memberi makna baru lewat sisi mistisme dan humanisme.



Dengan menolak belief system ala agama-agama monotheistik, dan mendemitologisasikan agama-agama timur, justru kita akan mendapatkan pijakan yang lebih ajek dan sudut pandang yang lebih luas dalam menatap hidup.



Bagi saya jelas, bahwa konsep tuhan yang diributkan oleh agama-agama sebenarnya mengacu pada :

1. Misteri hidup dan alam semesta.

2. Mekanisme alam semesta

3. kedalaman arti hidup kita sebagai manusia individual dan komunal



Untuk poin pertama dan kedua maka dipakailah pendekatan empiris dan rasional, dalam hal ini semesta berpikirnya adalah pantheisme. Sedangkan pada poin ketiga, kita mendekatinya lewat psikologi, budaya, intuisi dan spiritualitas, dalam hal ini maka saya memakai pendekatan panentheisme, yaitu spiritualitas yang masih menggunakan sarana-sarana figur ilahiah namun bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri namun sebagai pendekatan antromorphistik terbatas akan totalitas kesegalaan itu sendiri yang tak terbahasakan secara gamblang.



Maksud saya demikian:



Semua sifat-sifat allah dalam islam, kristen dan yahudi sebenarnya mengacu kepada mekanisme alam semesta ini, yang apabila dilekatkan pada figur tuhan yang berpribadi, akan nampak tidak konsisten, bertabrakan dan runtuh logikanya.



Allah maha besar, tentu, alam semesta ini luas tak terbatas. Namun apabila kualitas ini dilekatkan pada suatu pribadi ketuhanan, katakanlah allah ta’ala, kita akan bertanya mampukah awloh ini menciptakan batu yang sedemikian besar sampai-sampai ia sendiri tak mampu mengangkatnya?



Allah maha kuasa, tentu, lihatlah alam semesta yang begitu powerful, dibandingkan kita manusia yang begitu kecil dan tidak signifikan, namun ketika kualitas ini dikenakan pada suatu tuhan yang berpribadi maka mampukah si tuhan itu menciptakan lingkaran dengan 270 derajat dan kubus yang berbentuk corong? Atau bisakah ia menciptakan bebek dari telur asin, yang embrionya pasti sudah hancur karena zat garam? Berkuasakah ia dengan jentikan jari menobatkan kaum Shiah dan Sunni agar tidak saling membunuh? Coba…….



Allah maha hadir, tentu, alam semesta ini hadir dan tak pernah terpisah-pisah. Brahman ada disetiap isi maupun kekosongan. Namun apa bila kita lekatkan sifat ini dalam suatu tuhan yang berpribadi maka logikanya runtuh. Jika ia maha hadir dan menyaksikan segalanya, mengapa ia berdiam diri ketika melihat para gadis diperkosa, mereka yang dibunuh dan disiksa, mereka yang didera oleh sakit-penyakit yang menahun dsb.



Allah maha kasih , tentu alam ini begitu maha rahim, ia menampung segala yang ada sebagai wujud dari modusnya sendiri. Namun apabila kualitas ini dikenakan pada tuhan berpribadi maka akan ada pertanyaan kenapa ia membiarkan segala ketidak-adilan yang terjadi dalam sejarah manusia? Kenapa ia berdiam diri saat jutaan kaum yahudi dibantai oleh hitler, saat jutaan kaum hindu dan buddhis dibantai oleh aggressor islam dari mongol dan Turki? Dimana ia ketika jutaan kaum minoritas meronta2 atas ketidak adilan yang menimpa mereka karena pemberlakuan hukum islam di Pakistan, Bangladesh, Afganistan, Mesir, Sudan, Somalia, Irak, Iran dsb? Kemanakah tuhan ketika suku2 asli Amerika dibantai oleh kaum kulit putih? Dimanakah tuhan ketika kaum perempuan dijadikan korban dalam system syariah yang diskriminatif terhadap mereka? Dimanakah allah ta’ala ketika janda-janda irak kehilangan suami dan anak-anak mereka karena gempuran militer AS yang salah sasaran?



Tidakkah anda lihat betapa tuhan / allah yang berpribadi ala tiga agama samawi ini runtuh logikanya? Semua kualitas keallahan itu sebenarnya mengacu pada alam semesta, dan mekanisme alam semesta.



Kembali pada filsafat Hindu. Karena segala-galanya adalah Brahman, dan Brahman bukanlah suatu pribadi yang dari padanya kita dapat membina suatu hubungan aku dan kau, subyek dan obyek, maka konsep Tuhan yang dapat ditarik darinya adalah ketuhanan yang tidak berpribadi.



Namun karena manusia dalam kehidupan praksisnya memiliki instink sebagai yang lain dari sejenisnya, yang masih terkondisi dengan keakuan, maka Brahman yang tidak memiliki kualitas itu (niguna Brahman), guna kepentingan kedalaman makna hidup, diabstraksikan oleh kita dalam suatu figur-figur ketuhanan yang memiliki sifat / kualitas (saguna brahman), maka terciptalah pantheon ilahi atau dewa-dewi yang digambarkan dalam figure dewa-dewi seperti halnya Dewa Brahma, Vishnu, Shiva, Buddha Amitabha, Avalokitesvara, Tuhan,Yehova, Allah ta’ala, Hazura Mazda, Hare Krishna, Yesus, Bunda Maria dsb. Kegunaan ilah-ilah tersebut adalah bagaikan cermin kesadaran dalam diri untuk kita mengadakan komunikasi ‘aku dan kau’ dalam berdialektika.



Jika saya gambarkan dengan diagram Venn (masih ingat pelajaran kelas 1 SMP?) , maka semesa berpikirnya adalah Pantheisme, sedangankan balon-balon bilangan di dalamnya yang kadang bersentuhan kadang tidak, adalah paham panentheisme, agama dan spiritualisme yang mencoba mencari makna dari kehadiran kita dalam alam semesta ini.



Jadi harus kita sadari bahwa semua figur-figur tersebut sebenarnya adalah alat bantu yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk mencapai kedalaman arti dan kemanunggalan dengan Alam, Brahman, Tao, Tataghata Garbha.





Karena itu adalah alat bantu, maka ia bukan tujuan dalam dirinya sendiri, ia hanyalah rakit, yang setelah kita mencapai daratan, harus kita lepaskan. Bagaikan seorang anak kecil yang baru belajar berjalan masih membutuhkan tuntunan orang dewasa, seketika ia mampu berjalan sendiri maka tuntunan dari orang lain tidak diperlukan lagi.



Silahkan anda pilih sendiri mana yang cocok menurut anda, entah beragama atau tidak, memilih tuhan yang ini atau yang itu, atau sama sekali tidak bertuhan. Terserah anda.



Bagi saya, saya telah menemukan panggilan diri saya untuk menjalani hidup ini dalam makna yang lebih tinggi, dalam dan lembut, sekalipun itu bukan jalan yang umum. Mereka yang telah melihat bahwa ia yang sejati adalah bagian dari kesegalaan yang ada, dan segala yang ada adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya yang sejati, masih sanggupkah menyakiti sesama? masih sanggupkah melakukan diskriminasi dan penindasan? rasanya hal demikian sudah tak mungkin lagi dilakukan oleh mereka yang telah memahami kesegalaan dalam kesewajaran hidup.



Dengan luruhnya gambaran tuhan berpribadi ala agama monotheistik, maka semakin nyatalah signifikansi tanggung jawab manusia baik sebagai individu maupun kolektif untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Mau dikemanakan diri ini, masyarakat ini, dunia ini dan bumi yg menopang kehidupan kita ini.... tergantung dari diri kita sendiri, bukan tanggung jawab pribadi2 adikodrati khayalan di atas surga sana. Kita adalah portal kesadaran yang menyadari kemuliaan, panggilan dan tanggung jawab kita dalam alam semesta ini.





Mari Kita Rayakan Kehidupan Ini



Dalam beberapa kesempatan ada kalanya saya katakan bahwa saya adalah seorang truthseeker, pencari kebenaran. Namun istilah ini tidak berarti bahwa saya sedang mencari-cari sesuatu yang saya tidak miliki sekarang, bagaikan seorang yang mencari-cari barang yang hilang. Bukan. Bukan itu yang saya maksud.



Kebenaran, sebagai makna hidup yang terdalam, benihnya ada dalam diri kita untuk kita pelihara, tumbuh kembangkan dan realisasikan. Namun kebenaran yang kita miliki baik dalam sains maupun spiritualitas (ding fur uns, realitas bagi kita sendiri - dengan meminjam istilah dari Imannuel Kant) hanyalah bagian yang kecil dan tak berarti dibanding dengan kebenaran yang ada dalam semesta ini (ding an sich, realitas dalam diri alam semesta sendiri). Sepanjang kita hidup, bathin seorang yang dewasa akan terus terhisap dalam cakrawala pencarian kebenaran untuk dibathinkan ke dalam hatinya masing-masing dan dikomunikasikan kepada sesamanya lewat piranti-piranti budaya, intelektualitas dan bahasa yang terbatas.



Dalam keterbatasan ini maka kesempatan hidup adalah sesuatu yang layak untuk dirayakan. Kita melakukan kebajikan, karena itu adalah kewajiban yang terpatri dalam bathin kita (das solen) sebagai buah dari evolusi kesadaran kita, sebagai kesewajaran alam semesta, tanpa perlu pamrih dengan meminta-minta surga.



Karena keberkahan langit dan bumi, maka saya berhasil membujuk keluarga saya, memindahkan mereka dari Jakarta, kota yang sumpek dan stressful, untuk tinggal di pinggiran yang agak jauh dari kota Bandung. Di lereng gunung ini kami hidup sederhana, berdagang dan berladang. Kami dekat dengan alam, dibuai oleh alam dan bertanggung jawab atas alam. Kehidupan yang menyepi seperti ini yang membuat pikiran ini tetap jernih dan waspada.



Tidakkah anda tertarik untuk merayakan kehidupan dalam kesewajaran dan apa adanya?



Dalam note ini saya menampilkan Lagu Matsuri, lagu instrumental yang inspiratif, dan dinamis karya Kitaro. Matsuri berarti Perayaan. Tidak ada lirik dalam lagu ini. Begitu pula dalam hidup, saya percaya bahwa kita sendiri yang mengisi lirik, bukan orang lain, bukan suratan takdir.



Nikmati, selami dan rayakanlah lagu ini. Terima kasih.

Senin, 04 Oktober 2010

Merenungkan Sejarah Alquran -

Oleh Luthfi Assyaukanie
by Spiritual Indonesia on Monday, October 4, 2010 at 11:01am

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.





Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma' nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.



Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.



Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia: ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak denga percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.



Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.



Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.



Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.



Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.



Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).



Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.



Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.



Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.



Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf Uthmani," pada masa itu telah beredar puluhan --kalau buka ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.



Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An'am, tapi surahYunus.



Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah "penting" itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan "kata pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.



Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.



Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia."



Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: "pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]." Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang lain, yang didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal' dan al-Hafd.



Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan.



Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku 'ulum al-Qur'an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.



Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu.



Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).



Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.



Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.



Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari kata a-l-m bisa dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu atau juga menjadi na'lamu, ta' lamu atau bi'ilmi.



Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas'ud berulangkali menggunakan kata "arsyidna" ketimbang "ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami") yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man" sebagai ganti "alladhi" (keduanya berarti "siapa"). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata da arti yang berbeda, seperti "al-talaq" menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas), "fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud), "linuhyiya" menjadi "linunsyira" (Talhah), dan sebagainya.



Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf."



Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.



Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.



***



Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas.



Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf" dengan cara menafsirkan "huruf" sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.



Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.



Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan "banyak," ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.



Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.



Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma'nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.



Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.



Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suciĆ¢€”selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.



Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bias diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.





Luthfi Assyaukanie adalah Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta.





Rabu, 29 September 2010

Adakah Engkau di Surga Sana oh Tuhan?

BY AA Jin Musafir - Spritualist Indonesia.
Aku menyeruput kopi panas dengan nikmatnya. Seperti hari-hari lainnya, kota Edington di musim gugur selalu dicekam dingin yang menusuk. Segelas kopi panas beserta setungkup hamburger sudah menjadi menu yang luar biasa di Bed & Breakfast yang aku tumpangi ini. Sekarang aku berada di Skotlandia, wilayah utara Kerajaan Inggris Raya, di tahun 1903.



Dari bau harumnya yang khas aku sudah yakin bahwa biji kopi ini didatangkan dari kepulauan Nusantara. Lewat trading pedagang Inggris dan Belanda, kopi dari tanah ibu pertiwiku di bawa sampai ke mejaku. Sial, betapa jahatnya penjajahan. Sementara anak-anak bangsaku hidup dalam feodalisme dan kemiskinan, kekayaan tanahnya yang terbaik malah dinikmati orang luar.



Namun yang membuatku jauh lebih sedih adalah bahwa sampai sekarang masih berlangsung penjajahan dalam otak anak-anak negeriku. Sekalipun Indonesia telah merdeka 65 tahun, namun anak-anak bangsaku masih dijajah oleh isme-sme dari luar yang tidak sesuai dengan adab asli bangsaku. Isme-isme yang tidak berjejak pada keragaman dan keunikan anak-anak negeri ini. Isme-isme yang hanya membuat otak anak-anak bangsa ini berkiblat jauh ke barat, entah ke mekkah ataupun ke yerusalem. Isme=isme yang membuat garis marka yang rigid antara mukmin vs kafir, haram vs halal, umat yang telah diselamatkan vs umat yang belum diselamatkan. Tidak perlu lagi disebut-sebut tentang syahwat kekuasaan, kemunafikan, korupsi, dan ketidakjujuran yang melekat di dalam otak para politikus dan agamawan kita yang meluluhlantakan sendi-sendi kemanusiaan bangsa ini. Aku menghela nafas panjang. Penat dan perih rasanya nurani ini jika mengingat-ingatnya.



Belum juga habis kopi ini, terdengar ada keributan di luar. Lelaki dan perempuan berhamburan disusul dengan beberapa polisi berkuda menuju suatu tempat tak jauh dari B&B tempat aku menginap. Aku tertarik untuk melihat apa yang tengah terjadi.



Ternyata baru saja sesosok mayat ditemukan. Seorang janda cantik dan kaya berumur 40 tahunan ditemukan tergeletak di atas sofa di rumah mewahnya. Tidak ditemukan bekas tikaman atau cekikan di tubuhnya. Begitu pula tetangga terdekatnya tidak mendengar suatu percekcokan antara si korban dengan siapapun dari tadi malam. Namun dari cara ia meninggal sudah jelas ia mati tidak wajar.



Polisi berusaha menjaga-jaga agar warga tidak mendekati TKP atau menyentuh apapun yang bisa dijadikan alat bukti. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki kurus tinggi dengan Jaket selutut, dan bertopi aneh. Di bibirnya selalu terselip cangklong dengan asap yang mengepul tipis. Ia adalah Sherlock Holmes, detektif terkenal di Scotland Yard. Dengan sigap ia memakai sepasang sarung tangan karetnya, mengeluarkan buku catatan kecil dan bolpen, serta tidak ketinggalan kaca pembesar dan mulai meneliti si korban.



Ia memeriksa tingkat kekerasan jasad si korban, mencari tahu sudah berapa lama sang almarhumah menjadi jasad ini. Ia mencari tanda-tanda di tubuh si korban yang bisa mengindikasikan apa yang sesungguhnya terjadi saat sebelum kematian tiba. Ia melihat apakah ada yang aneh dengan letak perabotan di ruangan itu. Adakah barang yang jatuh? Adakah barang yang terhilang? Adakah sidik jari tertinggal di tubuh si korban? Adakah sidik jari tertinggal di pintu? Di jendela? Apakah ada tanda-tanda kerusakan di pintu, jendela dsb. Adakah zat racun tersimpan di cangkir teh si korban yang belum selesai ia minum. Ia mewawancarai dua orang pelayan dan seorang tukang kebun yang tinggal di rumah sang korban. Ia menganalisa, mengumpulkan hipotesa, membandingkan hasil hipotesa itu dengan catatan-catatan yang telah ada dan menarik kesimpulan. Dengan hati-hati ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada yang bisa membawanya pada sebuah kesimpulan.



Akhirnya setelah 2 jam investigasi berlalu, dengan dingin dan penuh keyakinan, ia mengatakan, “Kasus terpecahkan. Ini adalah pembunuhan ruang tertutup. Dan pelakunya adalah salah seorang pelayan sang janda dengan motif balas dendam pribadi. Ia menaruh sejenis racun cair di teh si korban karena si janda tersebut ternyata memiliki asmara terlarang dengan suami si pelayan. Dan dialah pelakunya.” Telunjuk tangannya mengarah kepada salah seorang pelayan itu. “Mrs. Manning, andakah pelakunya?” Perempuan berumur 30 tahun itu menunduk malu dan takut. Ia mengangguk dan menangis. Kasus terselesaikan sudah.



Semua orang bertepuk tangan. Begitu pula aku. Dan sang Detektif melirik ke arahku dan mengedipkan matanya. Sementara asap dari cangklongnya mengalun di udara. Aku tersenyum.



Aku yang hidup 100 tahun setelah Sir Arthur Conan Doyle, tokoh real pencipta Detektif Sherlock Holmes, merasa bahwa teknologi di jamanku hidup, yaitu sekarang, jauh lebih canggih dan mengesankan dibanding ketika Doyle hidup. Beruntunglah kita yang hidup di jaman post modern dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik dari segi teknologi, analisa psikologi, dan metoda2 penyingkapan kasus kejahatan yang dikembangkan oleh para kriminolog. Kita memiliki kamera pemantau, tes DNA, uji balistik jika kasus yang ditangani melibatkan peluru, deteksi ketahanan metal jika kasus itu melibatkan kecelakaan kendaraan, autopsy mayat, analisa kejiwaan dsb. Namun diluar perbedaan teknologi itu, pendekatan yang dilakukan untuk menyingkap suatu kasus adalah sama yaitu deduksi dan induksi.



Beruntunglah kita yang hidup dalam abad ketercerahan sains, sebab ilmu pengetahuan terus menerus memperluas cakrawala kita. Masa lalu yang dahulu nampak seperti misteri, sekarang semakin terbuka. Bagaikan detektif Sherlock Holmes yang tidak berada saat kejadian perkara namun ia mampu memecahkan kasus lewat investigasi material, begitu pula para saintis. Mereka tidak pernah hadir ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu, namun lewat investigasi material, pencarian materi2 yang mendukung, kemudian perumusan hipotesa dan korespondensi antara satu materi dengan materi lainnya, satu kasus dengan kasus lainnya, akhirnya mereka mampu menyusun suatu rangkaian penjelasan yang memungkinkan kita untuk mendekati apa yang benar2 terjadi di masa lalu. Dan apa yang terjadi rantai evolusi dan peradaban manusia.



Pencarianku akan makna hidup membawaku pada penelitian sejarah agama-agama, budaya, tata nilai, evolusi, spiritualitas dan ternyata itu semua bermuara di evolusi otak kita.





Adakah engkau di surga sana oh tuhan? - Tidak, aku ada dalam otakmu.



Menurut para neurosaintis otak kita yang terdiri dari triliunan neuron ternyata adalah hasil evolusi selama berjuta-juta tahun. Secara fungsi otak dikelompokan menjadi 3 bagian utama, yaitu:



Lapisan pertama dan tertua : batang otak, disebut juga otak reptilian, karena fungsinya sama seperti otak banyak spesies reptile. Fungsi utama bagian ini menjalankan aktivitas dasar, sederhana & otomatis, seperti bernafas, detak jantung, sirkulasi udara, siklus metabolisme. Juga mengontrol daya flee or fight / kabur atau tempur. Itulah kenapa ada sindiran ‘otak kadal’ bagi orang-orang yang cenderung suka memamerkan kekerasan fisik tapi ngacir kalau yang dihadapinya lebih jago dan kuat darinya.



Lapisan kedua : daerah limbik, bentuknya seperti helm yang mengelilingi batang otak. Jalur saraf yang lebih rumit ini memampukan otak si spesies untuk menjalankan kegiatan menyediakan makanan, perlindungan, ketrampilan bertahan hidup. Bagian otak ini menambahkan kesan-kesan emosi pada si spesies itu yang lebih luas dari pada flee or fight, seperti perasaan tertekan, lapar, senang, membedakan bebauan, membaca niat binatang lain lewat postur tubuh, gerak, tatapan mata, ekspresi wajah. Bagian Limbik ini ada pada binatang vertebrata. Limbik terdiri dari 2 hippocampus (kanan-kiri) yang berfungsi untuk merekam memori, dan Amygdala yg berfungsi merasakan emosi dan ingatan2 emosional. Sekarang kita memahami mengapa binatang2 seperti gajahm, beruang, kuda, zebra, dll mampu memperlihatkan emosi dan kasih sayang yang mendalam ketika merawat anak-anaknya dan memperlihatkan ekspresi bersedih manakala anak atau anggota klan nya dimakan singa atau mati. Emosi2 sedalam itu tidak dimiliki oleh binatang2 reptil. Kenapa? Karena otak mereka tidak memampukan mereka untuk merasakan emosi yang mendalam.



Lapisan ketiga, neokorteks, lapisan ini hanya dimiliki oleh mamalia, berfungsi untuk memberikan alasan, membuat perencanaan, memberikan respons emosi yang cocok. Dan pada spesies homosapiens, neokorteks ini berkembang menjadi system yang kompleks dan lebih besar yang memampukan mereka untuk membayangkan, mencipta, mengerti dan memanipulasi symbol. Kemampuan neokorteks ini yang dalam peradaban, menyediakan kita kemampuan untuk berbahasa, menulis, melukis, mengerti matematika, mengapresiasi seni, mengkonstelasikan konsep-konsep, merasionalisasikan emosi, mencari makna hidup dsb.



Neokorteks ini dalam otak manusia, yang bervolume lebih besar dari pada mamalia lainnya, memampukan kita untuk mengabstraksikan tata nilai apa yang baik dan tidak baik, bermoral dan tidak bermoral, jahat atau tidak , dan juga memampukan kita membayangkan kehidupan yang ideal, abadi, tiada kemalangan dan kematian, yang semua itu dikonsepkan berdasarkan materi yang ada di sekitar kita.



Dari evolusi manusia keluarlah hasrat2 untuk melakukan kebajikan, dan kemuliaan, dari evolusi manusia sendiri hadirlah keinginan2 dan keserakahan yang menelurkan kejahatan. Konsep2 kebaikan dan kejahatan inilah yang menciptakan agama dan tata nilai. Dan pencarian antara misteri keterhubungan antara eksistensi manusia secara personal dengan sesama dan alam, itulah yang menjadi hasrat mendasar spiritualitas.



Jadi adakah engkau di surga sana oh tuhan ? Tidak, aku ada di dalam otakmu.





Pada mulanya adalah bertahan hidup



Dulu…dulu… dulu sekali pada waktu nenek moyang kita memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan hidup lamanya yaitu bergelantungan di dahan2 pohon yang tinggi dan mulai ke hidup di atas tanah (inipun terpaksa dilakukan karena ada suatu kejadian alam yang membuat pasokan makanannya diatas pohon mulai menipis), mereka menyadari kalau mereka tidak bisa lari secepat cheetah, tidak punya tenaga sekuat gajah, tidak punya penglihatan setajam rajawali, tidak punya cakar setajam cakar singa, maka dengan sendirinya mereka berkelompok untuk bertahan hidup.



Dengan tumbuhan dan daun-daunan yang mereka dapat, dan daging dari hewan2 lain yang lebih kecil mereka bertahan hidup. Kita bisa lihat contoh nyata dari simpanze, aktivitas mereka kebanyakan tidak diatas pohon, tapi di atas tanah, dan kadang makan, semut, kutu, belatung bahkan memangsa monyet lain yang jadi musuh kelompok mereka.



Dengan pola makan yang baru dan bervariasi itu, yaitu gabungan antara tumbuhan dan daging dari hewan buruan, maka sedikit demi sedikit dalam rantai generasi yang begitu panjang, kebiasaan ini menambah kadar protein dalam otak mereka yang nantinya menambah volume tubuhnya, memperkuat rangka tubuhnya, volume otaknya, dan memperkuat jaringan2 sel di dalamnya untuk memampukan diri mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar.



Melalui perjalanan evolusi yang panjang dan berliku, sel-sel dalam otak spesies yang nantinya menjadi manusia ini, semakin diperkaya dengan pengalaman2 berburu, melarikan diri dari musuh, hubungan interpersonal dalam komunitasnya. Kehidupan di atas tanah, dan bukannya di atas pohon, sedikit demi sedikit merubah rangka tubuh mereka. Mereka jadi mampu berdiri lebih tegak, mampu mengkoordinasi tangan, kaki dan bibir yang memampukan mereka untuk berjalan lebih jauh, bergerak lebih anggun dan memiliki kemampuan baru, berbahasa verbal. Semua kekayaan baru ini menanamkan ‘kode genetik’ dalam gen untuk generasi-generasi mendatang lewat cara berkelamin.





Tuhan – suatu konsep yang terus berevolusi



Bayangkan, pada jaman purba ketika manusia masih tinggal di gua2. Mereka merasa takut dan gentar akan alam ini. Mereka tidak sanggup mengalahkan ganasnya alam. Hujan yg lebat, guntur yang meraung-raung, kilat yang sabung menyabung. Dalam ketakutan, ketidak mengertian dan ketidakberdayaan mereka menganggap ada suatu kekuatan dibalik semua fenomena alam ini. Yang berkehendak sendiri-sendiri, lepas dan berkuasa atas alam dan manusia. Kita menyebut keyakinan ini sebagai dinamisme. Keyakinan akan adanya suatu kekuatan-kekuatan otonom yang lepas berkehendak dibalik fenomena2 alam.



Baru sampai jaman manusia Neanderthal, manusia mulai menemukan konsep tentang adanya keberlanjutan hidup. Mereka percaya bahwa manusia yang mati, atau semua binatang yang mati, mempunyai kehidupan setelah kematian dalam suatu dunia antah-berantah. Para paleontolog menemukan situs-situs dimana manusia Neanderthal menguburkan kerabatnya yang telah mati. Dalam kuburan ini manusia didudukan persis dengan bayi di dalam kandungan, Karena mereka percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari fase hidup melainkan suatu fase awal untuk suatu kehidupan berikutnya lagi. Dan mereka yang telah mati, tinggal bersama kita dalam dimensi yang lain. Mereka tinggal di hutan, di danau, bahkan dalam alat2 berburu dan berperang mereka. Ada keterhubungan erat antara mereka yang telah meninggal dan alamnya yang khusus dengan kita yang masih hidup di alam raga ini, yaitu diantaranya untuk menjaga kita keturunannya dalam menghadapi bahaya. Mereka menjadi karuhun, dan kita jadi cucu-cucu kesayangannya.



Keyakinan ini disebut spiritisme dan animisme. Sampai sekarang animisme dan spiritisme dipraktekan secara luas dalam kebudayaan dunia. Keyakinan akan keharusan untuk membuat sesajen sebelum membangun rumah / pabrik, berasal dari keyakinan ini.



Kemudian, setelah manusia2 menetap dalam suatu komunitas, di tepi pantai, di gunung, di hutan, di gurun, dsb. Manusia mulai menemukan paham baru, yaitu politheisme. Secara tidak sadar dinamisme dan animisme dipersonifikasikan jadi dewa-dewa lokal dimana mereka bernaung. Ada dewa pohon, dewa hutan, dewa sungai, dewa gunung, dewa gurun, dewa lembah. Dsb. Setiap tempat memiliki dewanya sendiri.



Semakin kompleks suatu komunitas, semakin banyak dewa-dewa sesembahan mereka, sebagai cermin dari pengharapan dan ketakutan mereka, ada dewi kesuburan, dewa peperangan, dewa kesembuhan, dewi percintaan dsb. Setiap aspek psikologis manusia yang sukar dijabarkan lewat uraian kata dipersonifikasikan dalam citra dewa-dewi.

Ketika komunitas2 lokal ini bertumbuh menjadi kerajaan-kerajaan, begitu pula dewa-dewa itu ditempatkan dalam suatu hierarki, dewa yang tertinggi menjadi dewa utama / raja contoh zeus, dewa indra, sedangkan dewa yang lebih kecil / inferior menjadi dewa2 suruhan / dewa2 perang.



Dalam pemahaman yahudi, kristen dan islam dewa utama itu adalah yahweh / allah bapa / allah swt dan dewa2 yang lebih rendah adalah para malaikatnya. Tidakkah anda menemukan kesejajaran antara konsep kerajaan dengan konsep ketuhanan?



-raja – dengan tuhan yang bertahta di surga,

-perdana mentri dengan Gabriel / jibril

-kepala pasukan dengan Michael.

-dayang dengan para seraphim & kerubim?



Begitu pula surga selalu digambarkan sebagai istana penuh dengan air mancur dan bidadari berseliweran disana-sini. Tidakkah ini penggambaran kaum padang gurun yang merindukan tempat teduh yang melimpah dengan air dan pepohonan sejuk serta ekstasi ragawi?



Ketika kerajaan2 itu berperang dengan motif-motif politis dan geografis, mereka membawa serta dewa2 mereka. Dan dewa dari suku yg menang dalam peperangan menjadi dewa pemenang, dewa yang lebih superior dari pada dewa suku yang dikalahkan. Dalam hal ini maka mengkerucutlah dewa-dewa ini menjadi suatu hierarki yg lebih rigid. Itulah sejarah dari politheisme menjadi monotheisme. Namun ada kalanya justru dewa dari suku yang kalah justru dianut oleh suku yang menang. Namun demikian kasus seperti itu kecil. Biasanya apa bila dewa-dewi dari suku yang kalah lebih beragam dan kaya makna, maka dewa-dewi tersebut diasimilasi ke dalam pantheon dewa-dewi suku yang menang.



Dari politheisme, hanya perlu selangkah lebih lanjut menuju monotheisme, yakni dogma yang diusung oleh kekuasaan, yaitu kehendak politik para raja yang mendukung suatu agama tertentu. Agama sang raja haruslah jadi agama si rakyat. Bukankah ini terjadi bahkan sampai saat ini?



Jadi jelas bahwa penggambaran tuhan berasal dari konsep manusia sendiri tentang kehidupannya. Seberapa jauh manusia memahami alam, hidup dan keterhubungannya dengan alam dan sesama, maka sebegitulah pemahaman tuhan mereka. Maka dari itu tuhan selalu digambarkan berbeda-beda. Ada tuhan yang jijik dengan perempuan, itu karena budaya si komunitas pengusung keyakinan itu adalah budaya male-chauvinistik, budaya yang mengagung-agungkan lelaki dan merendahkan perempuan. Ada tuhan yang pemurka, dan menyuruh si nabinya menghabisi lawan-lawan politiknya. Itu karena komunitas si nabi sedang terpojok, sehingga tuhan yang dicerminkannya adalah tuhan pemurka. Ada tuhan yang menyukai sesajian hewan tertentu, semacam kambing dan domba. Ada tuhan yang lebih manusiawi dan senang tari-tarian, itu karena para pengusungnya adalah komunitas yang ceria.



Jelas bahwa manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya. Manusia-lah yang menyapa tuhan, bukan sebaliknya. Sebab jika kita mengandaikan ada suatu tuhan yang berfirman ini dan itu, seharusnya firmannya itu bisa diverifikasi. Mari kita datangi tuhan, apakah benar ia pernah berbicara kepada nabi ini dan itu dan memfirmankan demikian dan demikian.



Jika saya bisa gambarkan maka perspektif manusia akan konsep tuhan adalah bagaikan segi tiga terbalik yang terbuka bagian dasarnya (yang sekarang ada di atas). Titik pertemuan dua puncaknya ada dibawah, dan itulah manusia. Sedang bagian yang di atas itulah konsep tuhan. Seberapa besar pengetahuan material dan kebijaksanaan si manusia /masyarakat tsb semakin luas derajat spectrum bagian bawahnya yang berarti semakin luas pula bagian atasnya. Sebaliknya, semakin kecil dan picik, sumpek dan dangkalnya semakin mengkerucut tajam dan sempit sudut spektrumnya dan semakin kecil pula horizon dibagian atasnya.



Selama ini pemahaman manusia beragama, terutama agama monotheistik, telah keliru karena menganggap pemahaman manusia akan alam bagaikan segitiga dimana titik pertemuan di atas adalah tuhan, sedang bagian dasarnya adalah manusia. Dan karena perspektif ini mengerucut ke atas maka semakin ke atas semakin sempit. Maka dari itu tidaklah mengherankan kita melihat dalam agama dogmatik, semakin ia merasa dekat kepada tuhan, seseorang semakin ia sempit pikirannya karena ia sudah merasa di atas dan berhak mengatur-atur orang di bawah.



Dalam terang pemahaman di atas adalah jelas bagi kita bahwa tuhannya agama adalah idea. Tuhan bukan sesuatu di luar sana, di atas sana yang bertitah ini dan itu. Tuhan ada di dalam pemahaman di otak kita. Dan seberapa jauh dan lembut pemahaman tuhan itu, tergantung dengan seberapa manusiawinya kita, seberapa dalamnya keteduhan batin kita, seberapa luas pemahaman kita tentang alam dan sesama mahluk.



Jadi tuhan itu tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana, yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan malaikat. Sebab kalau tuhan berpribadi macam itu ada, maka ia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan manusia ciptaannya sendiri, serta bertanggung jawab atas kekacauan dan kekejaman yang terjadi dalam peradaban manusia dalam sejarah peperangan agama2.



Tuhan yang dipahami oleh manusia adalah konsep untuk menunjukan adanya nilai2 kebaikan dan keburukan. Jika ia adalah konsep / abstraksi maka yang terpenting bukan konsepnya itu sendiri, melainkan makna idea dibalik itu. Anda boleh memakai konsep ini atau itu, atau tanpa konsep agama sama sekali, yang penting anda mendapatkan makna hidup dalam kehidupan ini.



Itulah kenapa note saya sebelumnya, saya katakan bahwa saya merindukan Indonesia baru dengan beragam pemikiran, baik itu dinamisme, animisme, politheisme, monotheisme, agnotisme, atheisme dsb. Asalkan mereka diikat dengan adab, dan nilai2 kemanusiaan yang menghargai hidup. Biarlah setiap insan berdialektika dalam memaknai hidupnya. Ia memilih apa yang ia anggap layak dipercayai sepanjang itu tidak meniadakan hak2 orang lain untuk meyakini dan tidak meyakini sesuatu.



Konsep agama yang diusung oleh seseorang sebenarnya merefleksikan persepsi orang tersebut akan dirinya, alam, dan keterhubungan kesagalaan yang ada. Jikalau itu hanya refleksi atau abstraksi dari persepsi maka tidak ada kebenaran obyektif di sana. Sebab kebenaran obyektif memerlukan verifikasi yang didasari oleh metode-metode keilmuan yang bersifat empiris dan rasional. Adakah agama yang mampu menjawab tantangan pembuktian empiris?



Pada jaman lalu, manusia mempercayai bahwa alam semesta dibagi menjadi 3 lapisan besar, lapisan atas yaitu surga / arsy dimana tuhan bertahta, lapisan tengah yaitu bumi dimana manusia hidup, dan lapisan bawah adalah alam kematian di mana roh-roh orang yang telah mati dan dianggap tidak layak masuk surga – disiksa di sana. Sementara di antara surga dan bumi para malaikat / dewa dan iblis sibuk berperang memperebutkan pengaruh atas manusia.



Dalam worldview yang sesederhana itu, maka mitos2 seperti kejatuhan adam dan hawa, pengusiran dari firdaus, bencana air bah, rencana pembangunan menara babel oleh Namrud, pengiriman tulah2 ke Mesir, kenaikan Musa dan Elia ke surga, kebangkian dan kenaikan Yesus, isra miraz Muhammad, perjalanan Zoroaster ke surga, kunjungan Buddha dan murid2nya ke surga 33 langit bisa dipahami.



Namun dalam pemahaman manusia modern, dimana cakrawala pengetahuan kita lebih luas, masih bisakah kita mempercayai kisah2 ini sebagai kejadian factual dan historis? Bukankah kejadian itu akan menimbulkan pertentangan dari hukum2 fisika, kimia dsb karena jasad kita tidak memungkinkan untuk melintasi langit. Apa lagi kita tahu kalau di atas hanyalah ruang hampa luas.



Kisah2 diatas hanya bisa dipahami sebagai mitos, dimana dari kisah2 itu si penutur kisah menyampaikan tujuan dan pemahamannya berdasarkan kepentingan ideologi, budaya, politik dsb.



Keyakinana akan adanya suatu pribadi adikodrati yang bertahta di atas sana dan mengatur umat manusia dari awal sampai akhir, serta mengangkat nabi2 tertentu dan memberi sabda berbentuk kitab2 tertentu dan memuncak pada pewahyuan kitab tertentu dan figur nabi atau juru selamat tertentu – tentu saja mengandung kontradiksi baik secara idea maupun secara realitas. Karena pemahaman umat manusia yang terus maju dengan cakrawala pengetahuan yang lebih luas tidak memungkinkan adanya suatu titik kulminasi pewahyuan di belakangnya. Mestikah kita terus menoleh kebelakang untuk mencari semua jawaban dari pertanyaan kita sementara kompleksitas hidup dan pengetahuan umat manusia jaman itu tidak lebih rumit jaman sekarang?



Pada jaman2 lalu inti dari agama adalah agar kehidupan manusia dapat tertata, terikat dengan hukum-hukum positif dalam komunitas tersebut dan mengambil makna hidup. Dan itu wajar jika disikapi dengan dewasa. Artinya kita sadar bahwa tidak ada yang mutlak dalam kepercayaan2 tsb. Kenapa? Karena seiring dengan pengetahuan manusia akan alam, dirinya, sesamanya dan keterhubungan di antara faktor2 tersebut, maka kebathinan manusia pun akan bertambah pula.



Dari perspektif agama, ketika pemahaman manusia berubah dan semakin maju, agama pun harus mau membuka diri dan jujur dengan segala kelemahan dan keterbatasan dan kenaivannya. Sebab kalau tidak, maka ia sendiri harus bersiap-siap ditinggalkan oleh manusia2 yang cerdas.



Keyakinan yang masih membangga-banggakan akan adanya tuhan di langit yang memberikan tiga agama langit, yang masih mempercayai bahwa wahyu dari allah di langit itu memuncak pada pribadi nabi tertentu, kitab tertentu dan agama tertentu, atau juru selamat tertentu, masih layakkah kita pertahankan?



Kita lebih memerlukan kemanusiaan, kejujuran dan intelektualitas daripada kepercayaaan2 buta yang dalam rekam jejak sejarah, sudah jelas2 menorehkan diskriminasi, penindasan, kekerasan dan darah.



Sejarah pemahaman konsep tuhan adalah sejarah pemahaman manusia itu sendiri tentang alam, dirinya dan sesama. Dengan begitu maka ini mengundang dekonstruksi, rekonstruksi, dan reinterpretasi.



Tuhan adalah tuhan yang berevolusi, seiring evolusi (otak) manusia.





Apa yang ada di balik simbol-simbol



Jikalau idea-idea dalam kisah-kisah agama adalah symbol, seperti halnya surga, neraka, keabadian, dsb maka sebenarnya symbol-simbol ini mengacu pada apa?



Dalam note saya yang pertama saya tuliskan seperti ini:



Kami para pencari kebenaran yang mempelajari banyak ilmu secara interdisipliner, menyadari bahwa agama hanya sekumpulan dogma dan symbol-simbol tertentu yang mengacu kepada ‘suatu makna’ di balik itu. “sesuatu” ini yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang gamblang. Namun para agamawan begitu mudahnya mem-bypass dan menjadikan ritual, dogma sebagai kebenaran final, kebenaran dalam dirinya, sehingga berkubang di situ dan tidak mampu menempus makna di balik itu.



Jadi apa makna di balik symbol-simbol agama itu? Saya telah jawab bahwa makna di balik simbol2 itu sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata gamblang. Itulah mengapa Buddha lebih baik berdiam diri manakala ia ditanyai tentang adanya tuhan yang berpribadi, prima causa, asal muasal semesta dsb. Jikalau jaman sekarangpun dengan cakrawala pengetahuan alam yang lebih luas manusia sukar menjawabnya, apalagi manusia 2500 tahun yang lalu?



Namun dalam note yang akan datang akan saya sedikit paparkan pemahaman saya tentang hal ini.





Conquest of the Universe – mungkinkah masih ada waktu bagi kita?



Pada penghujung abad ke-15 masyarakat Eropa dikejutkan dengan ditemukannya dunia baru oleh Christopher Columbus. Seperti kita tahu bahwa kejatuhan kekaisaran Roma Byzantine yang kristen kepada dinasti Utsmaniah yang islam dan pemblokiran jalur2 perdagangan eropa ke Asia memaksa para pelaut eropa untuk mencari rute-rute perdagangan baru. Penemuan dunia baru ini membuktikan bahwa bumi tidak seluas yang mereka kira. Bagi orang Eropa saat itu batas paling selatan adalah Tanjung Harapan di Afrika selatan dan batas paling timur adalah kerajaan Cina. Segera setelah penemuan dunia baru tersebut, maka terjadilah gelombang migrasi bangsa eropa ke benua Amerika. Pula semakin bergejolak peperangan antara protestan dan katolik di benua Eropa semakin banyak imigran merangsek masuk ke benua Amerika. Dan semakin berdarah-darahlah sejarah peradaban penghuni asli benua itu. Entah berapa banyak jiwa dan suku bangsa India yang punah karena keberingasan tentara spanyol, Inggris dan Portugis.



Dalam film 1492, the conquest of Paradise, Vangelis sang composer menggubah lagu yang begitu dinamis dan penuh misteri berjudul Conquest of Paradise. Nada-nada yang sederhana, hentakan tambur, tempo yang dinamis dan penuh emosi menggambarkan harapan, ketakutan, tantangan, ancaman kegagalan dan kematian para pengarung lautan.



Begitu pula dengan sejarah evolusi dan kesadaran manusia. Penuh ketegangan dan ancaman. Seringkali manusia melangkah yang salah dan menganggapnya benar. Dan harga yang harus dibayar dari kebodohan itu seringkali teramat sangat mahal, yaitu nyawa. Sejarah agamapun memperlihatkan hal yang serupa.



Ke depan anak cucu kita akan mengarungi wilayah2 baru dalam semesta tak terbatas ini. Pertanyaannya adalah mampukah anak-anak manusia bertahan sampai ke jaman itu sementara apa yang kita lihat sekarang dunia selalu berada di ujung tanduk? Dan salah satu factor pemicunya adalah masalah agama.



Negara-negara Timur Tengah yang selalu dalam keadan tegang adalah negara2 yang paling berpotensi untuk membawa ancaman kepunahan kepada dunia. Sudah jadi rahasia umum bahwa konsentrasi senjata terbesar dunia ada di Timur Tengah. Dengan kemampuan teknologi nuklir Iran yang ada pada saat ini, adalah mudah bagi mereka untuk mengubah reactor nuklir untuk listrik ini menjadi teknologi senjata penghancur massal. Demikian pula sudah bukan rahasia umum bahwa Israel, Pakistan dan India dicurigai memiliki senjata nuklir. Fakta ini memicu negara2 Arab untuk berlomba2 menumpuk senjata sebagai pengimbang. Mengapa Arab Saudi, Mesir, Syria, Yordania dan Turki begitu dekat dengan Amerika Serikat? Salah satunya karena mereka takut dengan Iran. Persaudaraan islam yang digembar-gemborkan pada dunia adalah persaudaraan semu. Karena pada hakekatnya mereka memiliki kepentingan sendiri2 yang berbeda-beda. Tidak ada lawan, kawan, dan persaudaraan keagamaan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.



Saya tidak tahu apa yang akan terjadi apabila krisis kemanusiaan dan politik Arab – Israel terus memanas dan menyulut peperangan besar. Dan kita di Indonesia, tentu saja akan terbawa-bawa secara emosional, karena secara budaya dan ideologi agama Indonesia sudah jelas keberpihakannya. Tak bisa dibayangkan chaos yang akan terjadi di negeri ini apabila saat kehancuran itu tiba.



Saya ingin kita melihat bahwa ada hal yang salah dengan agama2. Ada yang irrasional dengan agama2. Semua ini saya tulis agar anak bangsa bisa melihat akar permasalahannya yaitu keyakinan yang bertumpu pada mitos. Dan sungguh tidak layak bagi umat manusia untuk berperang dan saling membenci hanya demi mitos.



Padahal ke depan umat manusia masih punya banyak tantangan untuk ditanggapi. Ada bentangan alam semesta yang maha luas untuk dijelajahi. Ada lembaran pengetahuan baru dalam alam semesta ini yang menunggu disibak.



Wahai kaum islam, kristen dan yahudi, untuk apa terilusi dengan tanah Yerusalem yang tandus, dan situs-situs keagamaan berselubung mitos yang kita sudah tahu bahwa tidak ada kebenaran mutlak di sana? Untuk apa kita mempertaruhkan masa depan manusia demi mitos?



Dalam benak pemeluk 3 agama ini, mereka percaya nubuatan/ramalan akhir zaman, yaitu peperangan besar-besaran yang memperebutkan Yerusalem. Padahal setelah kita tahu bahwa tidak ada sesuatu entitas di atas sana yang memberikan pengetahuan masa depan. Karena semua pengetahuan itu didapatkan oleh manusia sendiri, maka nubuatan itu adalah self fullfiled prophecy atau nubuatan yang dibuat sendiri, dipercayai dengan buta oleh sendiri dan dijadikan nyata oleh sendiri. Ironisnya hampir 56% atau hampir 4 milyar manusia di dunia ini harus terseret-seret secara iman dan kultur dalam mitos2 ini. Buat saya itulah malari – malapetaka yang dicari-cari sendiri.



Tidak ada pusat alam semesta, jadi tidak ada titik episentrum rohani dalam dunia ini, entah di Yerusalem, Mekkah, Benares, Gangga, Vatikan, atau Himalaya.



Tidak ada puncak pewahyuan dalam bentuk kitab atau sesosok nabi terakhir atau sesosok juru selamat manusia. Semua itu hanya interpretasi sekelompok orang yang dijadikan iman mereka sendiri dan dipaksakan untuk diyakini umat manusia di segala tempat dan disegala jaman.



Bagi kita yang memahami ini, apa masih mau kita dijajah oleh mitos-mitos tersebut?



Pada saat anak2 bangsa di negeri ini terikat dengan mitos-mitos dalam kitab ‘suci’, ingin mendirikan kilafah, ingin menggoalkan undang-undang syariah, berlomba-lomba mendirikan islam center atau megachurch , justru para saintis di negeri-negeri barat mencari cara memelihara keberlangsungan kehidupan bumi dan ras manusia. Oh betapa konyol dan inferiornya kenaifan agama, tapi pongahnya gak ketulungan.



Lihatlah alam semesta yang luas untuk dijelajahi. Mengapa memperebutkan kebodohan hanya demi mitos yang terbukti hanya bikinan manusia masa lalu saja?



Kapan kita akan bertanggung jawab untuk hari esok, apabila dalam benak kita masih digelayuti hantu2 irrasionalitas dan emosionalitas dalam berkeyakinan?



Ingat bahwa agama dan spiritualitas, sebenar-benarnya tidak memaksudkan manusia melihat apa yang ada di seberang sana – di alam sesudah kematian, namun mencari makna terdalam dari kehadiran kita kini dan di sini, dalam ruang dan waktu ini, dalam kehidupan yang hanya sekali saja.



Spiritualitas sejati bukan tentang romantisme psikologis tentang kebenaran agama2 tertentu, bukan pula suatu bentuk pelarian kekanak-kanakan dari penderitaan hidup. Bukan pula tentang kesaksian pengalaman Out Of Body Experience, yang bisa saja hanyalah katarsis dari si pikiran.



Spiritualitas sejati adalah perjalanan rohani dan intelektualitas dalam memaknai hidup ini, kini dan di sini, yang menyadarkan akan keterhubungan kita dengan sesama, dengan alam, dengan kehidupan, dengan misteri dari kesegalaan ini.